Pendidikan berbasis agama, yaitu pondok pesantren berkembang pesat di Indonesia pada era kolonialisme Belanda. Hal ini menimbulkan resistensi penjajah. Kolonial menilai bahwa pendidikan berbasis agama yang dilakukan oleh para guru (kiai dan ulama) menjadi ancaman bagi eksistensi penjajah sehingga perlu diawasi dengan ketat.
Dari kegelisahan tersebut, Belanda berusaha melakukan pengawasan terhadap semua guru yang melakukan pengajaran melalui semacam sertifikasi dari pemerintah Hindia Belanda yang disebut Ordonansi Guru. Dalam sistem ordonansi tersebut, semua guru (kiai, ulama) yang melakukan pembelajaran harus memiliki izin.
KH Saifuddin Zuhri dalam Guruku Orang-orang dari Pesantren (2001) mencatat bahwa kebijakan Ordonansi Guru ini dikeluarkan oleh Belanda pada tahun 1905. Menurut regulasi yang menyasar tanah Jawa dan Madura ini, seorang guru agama harus memiliki keterangan mengajar atau izin tertulis sebelum dia mengajar. Bukan hanya itu, tetapi setiap guru agama harus mengetahui daftar mata pelajaran dan nama murid-muridnya agar dapat dikontrol.
Kebijakan ini tentu saja menghambat praktik pembelajaran setiap harinya karena guru harus membuat perizinan yang prosesnya tidak mudah. Para guru agama saat itu melihat kebijakan ini sebagai upaya menghambat perkembangan pembelajaran agama. Apalagi Ordonansi Guru juga ditujukan oleh Belanda kepada tokoh agama dan para guru agama yang selama ini menentang pemerintah kolonial.
Kalangan pesantren yang sejak dahulu berkembang pesat dalam proses pembelajaran agama menentang keras kebijakan Ordonansi Guru Hindia Belanda. Meskipun Jam’iyah Nahdlatul Ulama (NU) kala itu belum dideklarasikan, tetapi para kiai dan ulama pesantren getol mendorong penghapusan kebijakan tersebut.
Redaksi: Ibu Nyai Bastiah